top of page

Tidak ada Rangga dan Cinta di Sini

Review film “Posesif”




Di balik poster dan judulnya yang menyiratkan sebuah film romansa remaja dengan permasalahan receh ala SMA (cinta segitiga, asmara ditentang orang tua, atau salah satu ada yang sakit, etc dsb) ternyata dalam tayangan ini tersimpan sebuah cerita tentang teror mental dalam sebuah hubungan di masa muda belia. Tersebutlah Lala (Putri Marino) yang berkenalan dengan anak baru di sekolah, bernama Yudhis (Adipati Dolken). Setelah menjalani hukuman sekolah bareng-bareng (i.e berjalan keliling lapangan 20x dengan tali sepatu saling terikat ke sebelah kaki masing-masing), keduanya menjadi akrab, dan akhirnya—bisa ditebak—pacaran. Dari sini penonton kemudian disuguhi montase adegan selfie dan foto foto Lala dan Yudhis yang diiringi musik manis sebagai penanda indah dan mudahnya cinta pertama. Namun film ini secara jago mengubah genre nya di pertengahan cerita. Saya bilang jago karena rasanya seperti kendaraan yang kita tumpangi dibelokkan secara perlahan hingga tiba di gang yang tidak biasa.



Ini bukan lagi gang nya AADC atau Galih dan Ratna, penonton akan membatin. Ini gang yang baru untuk film cinta remaja di Indonesia.



Hal ini diperlihatkan dari notifikasi miscall Yudhis pada Lala yang mulai datang bertumpuk-tumpuk bagai berkas di kantor Lurah. Ditambah dengan keluhan Yudhis bahwa Lala terlalu sering menghabiskan waktu dengan ayahnya dan teman-temannya. Niscaya lampu merah di benak penonton pun akan berpendar menyala saat melihat apa yang dilakukan Yudhis jika dirinya merasa dibohongi. Sampai di sini jelas sudah bahwa poster filmnya yang bergambar hati warna merah jambu dan terpajang di balik kaca bioskop hanyalah bulu domba belaka. Ini ternyata bukan film drama cinta remaja yang penuh suka ria. Ini film thriller, tentang keinginan satu pihak untuk menguasai kemerdekaan pihak lain, dan pihak lain—entah karena cinta atau karena sudah biasa—memakluminya (“Hanya gue yang bisa ngerti dia. Kasihan dia kalo gue tinggal,” begitu kata Lala. Dan hubungan mereka pun tetap berlanjut).


Film thriller sejatinya menjual ketegangan, tapi sayangnya, seperti harus at the expense of the main character’s IQ. Di dunia yang ideal, tentu orang akan segera melesat pergi setelah diteror dan disakiti. Namun demi menciptakan rasa miris dan tegang, tentunya kesadaran tokoh Lala harus ditekan selama mungkin. Kebebalan tokoh Lala tentunya berpotensi membuat penonton sebal, kalau saja tidak diperani dengan begitu baik oleh aktris Putri Marino. Sifat controlling Yudhis juga pastinya hanya akan terasa seperti kisah kisah dari buku Fear Street (referensi jadul, saya tahu) kalau saja tidak diperankan dengan meyakinkan oleh Adipati Dolken. Cukup wajar kalau film ini diganjar 10 nominasi FFI tahun ini (termasuk untuk kedua pemeran utama, sutradara dan skenario). Saat menyaksikannya saya merasa sedang menonton suatu suguhan yang berbeda. Saya semakin suka karena film ini membuat saya menyenandungkan kembali lagu “Dan” oleh Sheila on 7 yang mengalun di akhir film. Ternyata lagunya sendu. Liriknya pun pas dengan apa yang dikisahkan dari awal sampai akhir film. It doesnt have any (commercial) chance against films like Thor this week or any other week. However I recommend this more than the God of Thunder.

bottom of page