top of page

PENGABDI SETAN HIBURAN PENUMPAS RASA AMAN

Trailer :    

Terdengar suara denting lonceng dari lantai atas. Bunyinya seperti logam yang beradu cepat dengan badan gelas. Lirih, namun memekakkan. Tidak berbahaya, namun cukup tajam untuk memotong setiap lamunan. Seorang wanita berparas dua puluh tahunan mendongakkan kepala ke atas, menanggapi sumber bunyi namun kemudian memutuskan untuk kembali ke pekerjaannya di dapur. Dara berparas ayu itu tampak enggan kembali ke lantai atas. Adik laki-lakinya yang baru pulang dari kegiatannya hari itu berkata bahwa mungkin Ibu minta agar ditemani sebelum tidur. “Aku selalu menyisir rambut Ibu sebelum Ibu tidur,” ucap sang adik. Maka pergilah ia ke lantai dua, menyambut panggilan Ibu. Sang kakak tampak lega. Namun penonton mulai gelisah. Adegan tersebut terjadi saat film ini baru berjalan sekitar sepuluh menit. Tokoh-tokoh yang tampil di adegan itu adalah Rini yang dilakoni oleh Tara Basro dan adiknya, Tony (Endy Arfian). Sang pembunyi lonceng dari lantai atas dan yang selama durasi film nantinya akan menjadi salah satu akar kegelisahan penonton adalah Ibu (sebenarnya tokoh Ibu ini punya nama, namun nyaris sepanjang film hanya dirujuk sebagai “Ibu”—yang menurut saya lebih makbul merasuk di kepala. Kesannya kuat, menyeramkan—apalagi jika marah—namun juga sendu, dan ironis). Selain mereka bertiga, tokoh-tokoh utama lainnya adalah Bapak (yang sebenarnya juga punya nama, namun nyaris tidak pernah disebut di dalam film) yang diperani aktor asal Malaysia, Bront Palarae dan anak nomor tiga dan empat bernama Bondi (Nassar Anuz) dan Ian (M. Adhiyat). Sedikit bocoran, interaksi kedua bocah inilah niscaya akan diingat para penonton sebagai duet pembawa secercah keriaan dalam tayangan mencekam selama 107 menit ini.  

Alkisah Bapak dan keempat anaknya tersebut hidup di tahun 1981 dan tengah dirudung cobaan yang cukup pelik. Ibu diceritakan telah sakit selama tiga tahun dan tidak kunjung membaik. Uang mereka habis. Rumah telah digadaikan dan sebentar lagi akan disita. Keadaan semakin runyam saat akhirnya Ibu meninggal dan segera setelahnya, gangguan-gangguan ganjil mulai silih berganti menghampiri rumah. Mengingat judul filmnya sendiri adalah “Pengabdi Setan”, tentu tidak mengagetkan kalau salah satu gangguan ganjil tersebut datang dalam bentuk hantu. Sepertinya, walaupun Bapak dan anak-anak telah legowo melepaskan kepergian Ibu, Ibu sendiri belum ikhlas untuk pergi. Inti kisah tentang hantu atau demit yang ngeyel ingin menakut-nakuti manusia tentu bukan merupakan kisah yang baru lagi. Terbukti dengan banyaknya film horor baik lokal maupun mancanegara yang digubah dari resep keramat yang sama, dari mulai The Shining (1980), A Nightmare on Elm Street (1984), sampai Annabelle (2014) dan sekuelnya. Dari Sundel Bolong (1981), Bayi Ajaib (1982), sampai Jelangkung (2001). Film “Pengabdi Setan” arahan Joko Anwar ini juga sebenarnya merupakan properti lawas. Film berjudul sama telah dirilis pada tahun 1980 silam, disturadarai oleh Sisworo Gautama Putra dan sempat dinobatkan sebagai film horor Indonesia terseram oleh majalah Rolling Stone pada tahun 2015. Film versi barunya yang rilis tahun 2017 ini merupakan pembuatan ulang atau remake dari film lamanya yang di-elevasi dengan craftmanship nan mutakhir: sound yang menggetarkan kursi, sinematografi yang menjaga daya cekam, akting dan dialog yang luwes, dan misteri yang berhasil mengusik rasa ingin tahu sampai akhir durasi—walau masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas terjawab,. (penonton tentu dapat berharap bahwa hal ini disengaja agar ada alasan untuk membuat film lanjutannya, jika film ini sukses) Sejatinya rasa takut tercipta karena antisipasi dan imajinasi. Saat melihat gang yang gelap gulita, misalnya, setiap orang akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuan, karena membayangkan seseorang atau sesuatu bersembunyi dalam kegelapan pekat tersebut. Saat sedang tidur dan melihat pintu kamar dalam keadaan terbuka menganga, kebanyakan orang akan lekas-lekas menutupnya agar tidak ada siapa atau apapun yang bisa mampir mengintai. Saat keadaan sedang sepi, namun gendang telinga menangkap bunyi lirih suatu langkah kaki atau derit di lantai kayu, setiap orang akan terjaga dan bersumpah bahwa bunyi tersebut merupakan bunyi terkeras yang pernah mereka dengar. Di dalam film ini, penonton dengan sengaja dituntun untuk menjumpai perasaan-perasaan tersebut. Setiap lorong, kelokan, dan tangga di rumah Bapak diselimuti kegelapan dan rasanya tidak pernah terlihat ujungnya. Setiap pintu seolah mengerang kesakitan saat dibuka. Dan kesunyian malam kerap menjadi magnet bagi munculnya bunyi-bunyian asing, yang seharusnya tidak lagi terdengar. Contohnya, panggilan lonceng Ibu tetap terdengar dari lantai atas rumah, walaupun Ibu sudah meninggal. Jadilah penonton dibuat resah saat kegelapan, ayunan pintu dan bunyi-bunyian tersebut datang menggertak, bahkan jauh sebelum si hantu yang jadi biang keladi muncul. Di sini adalah letak keberhasilan film “Pengabdi Setan” versi anyar: ia sukses menjadi agen penggertak nyali penonton dengan menyentil titik-titik pertahanan dalam batin pemirsanya. Judulnya yang terkesan picisan dan tidak di-”bagus-bagusin” adalah gertakan pertama. Suasana rumah tempat gangguan bermunculan adalah gertakan kedua. Musik dan sound yang merembes ke adegan-adegan seram adalah gertakan ketiga. Misteri dan karakter-karakter utama yang layak dipedulikan keselamatannya merupakan gertakan-gertakan lanjutan yang menggiring penonton menuju reaksi yang diharapkan: gelisah, ketakutan, dan merasa tidak aman. Satu-satunya pelampiasan bagi pengunjung bioskop adalah menjerit, menutup mata, tertawa bersama, or all of the above. Tentu saja masih akan terdapat sebagian penikmat film horor yang menginginkan keseraman yang lebih, terutama jika mereka tumbuh di masa kini dimana film-film horor lebih mengutamakan jumlah adegan seram per film dibandingkan dengan pembangunan atau buildup yang mengusik nyali sebelum sampai di puncak adegan seramnya. Film “Pengabdi Setan” sepertinya mengabdi pada mazhab “less is more” dengan harapan keseramannya bersarang di setiap kepala penonton, kemudian menetas serta beranak pinak saat pemirsanya pulang ke rumah. Pada akhirnya bayi bayi tersebut pun mendesis-desis kegirangan dalam kegelapan, membuat kita terbangun, gelagapan menyalakan lampu. Dimas Riyo, Jakarta, 26 September 2017



bottom of page