top of page

It - Review from an Amateur Movie Enthusiast

Trailer :

Semua karya pasti didasari suatu view atau belief di belakangnya. Be it music, movies, paintings, even legal opinions (sebagai contoh, di balik tutur kata para In-house Legal yang alus-alus teges, tersimpan pesan bernada pasif agresif yang kira-kira berbunyi: “Kalo lu mau bikin dokumen pake tanggal mundur, nunjuk vendor gak pake lelang, sampe bikin MOM yang isinya langit dan bumi sama isi kontrak, itu pilihan lo. Tapi gue gak paraf ya.”). Seringkali kita sebagai klien/penikmat/pengguna harus sedikit berusaha mengurai maksud terselubung dari produk-produk yang kita konsumsi dengan melihat, membaca atau menonton ulang. Tapi ada juga karya yang dibikin berlapis-lapis—baik dari cara bertuturnya atau cuma karena kebanyakan “bells and whistles” (alias kebanyakan gaya)—sampe sampe pesannya kekubur di bawah gimmick-nya. Kalau udah begitu, perlu diskusi, bikin disertasi sampe cari wangsit buat mengurai karya-karya model begitu. Makanya lumayan menyegarkan bagi saya saat menemukan bahwa film “It” (alias Anu) yang disutradarai oleh Andres Muschietti dan diadaptasi dari novel dedengkot horror Stephen King ini memiliki view yang, bagi saya, terlihat jelas dan terang benderang.

Film ini, sama seperti novelnya, bercerita mengenai proses coming-of age dari tujuh anak-anak berusia 14-15 tahun yang tinggal di kota bernama Derry, Maine di akhir tahun 80 an. Seperti proses pendewasaan pada umumnya, mulai muncul berbagai teror yang menebar rasa was was kepada anak-anak ini, mulai dari teror yang berasal dari dalam badan sendiri (e.g. desir-desir puppy love, keinginan untuk mulai menentang aturan orang dewasa, how to cope with grief over death of a family member, sampai—bagi satu-satunya karakter utama wanita di film ini—haid pertama) ditambah oleh teror dari agen-agen eksternal seperti bullies di sekolah (yang dipimpin oleh bocah yang kalo udah gede pasti masuk Nusa Kambangan, bernama Henry Bowers), dan figur orang dewasa yang alih-alih menjadi figur pembimbing, malah digambarkan sebagai sumber kekerasan (e.g. ada tokoh ayah di film ini yang sering memukul anaknya, bahkan mengancam dengan pistol), sumber pengekangan (ada sosok ibu yang begitu protektif terhadap anaknya sampai terus menerus mencekokkan obat-obatan walaupun buah hatinya tidak sakit), sampai sosok-sosok dewasa lainnya yang bahkan tidak peduli sama sekali dengan kondisi-kondisi di atas. Seakan cobaan-cobaan tersebut belum cukup berat, pahlawan-pahlawan cilik kita harus menghadapi godaan ghoib dari makhluk supranatural yang menamakan dirinya Pennywise the Dancing Clown, yang bisa berubah wujud sesuai seleranya, dari mulai jadi anak kecil, lukisan idup, sampe zombie penderita lepra. Setelah kemunculan Pennywise, kisahnya memfokuskan diri ke bagaimana cara sekumpulan anak yang menamakan geng mereka “The Losers Club” ini bangkit melawan teror-teror tersebut, tanpa pertolongan siapapun. Membaca plot film ini yang mengandung fasa-frasa seperti “anak-anak”, “usia 14-15 tahun”, “akhir tahun 80-an”, “The Losers Club”, “bullies”, dan “makhluk gaib”, tidak salah juga jika ada calon penonton yang belum membaca bukunya yang menebak bahwa film “It” akan bernuansa seperti film-film keluarga lainnya—yang sedikit tegang tapi menyenangkan dan keluar di era 80-an—seperti “The Goonies”, “Monster Squad”, bahkan “ET”. Tapi “It”, baik novel maupun filmnya tidak menggambarkan kota Derry sebagai lingkungan yang ramah pada anak-anak. Baik Stephen King (sebagai pengarang novel aslinya) dan Andres Muschietti sebagai sutradara benar-benar menjatuhkan situasi-situasi yang tanpa filter dan tanpa maaf ke tokoh-tokoh ciliknya. Bocah-bocah tersebut memuntahkan kata-kata kasar layaknya orang dewasa (kata “fuck”, shit dan “whore” dilempar-lempar seringan bola ping-pong), mereka disiksa bullies sampai berdarah, dan dihajar orang tua sampai badannya gemetaran. Film ini bahkan tidak segan-segan menunjukkan apa yang terjadi pada anak-anak jika benar-benar menerima pemberian dari orang tidak dikenal di jalanan, apalagi jika yang tidak dikenal itu sebenarnya, well, bukan orang. Segala kekerasan pada anak-anak yang ditunjukkan lumayan gamblang di film ini, di mata saya, tidak membuat filmnya menjadi karya yang hina dan menjijikkan. Jika penilaian saya atas reaksi penonton lainnya—yang menyaksikan film ini bersama saya di bioskop—saat itu benar, cobaan-cobaan yang mendera The Losers Club di layar film justru membuat penonton tambah bersimpati pada tokoh-tokoh tersebut. Mereka di mata saya punya mental seperti hasil perkawinan kutu, semut, dan kancil. Bandel, cerdik, mindful of others—dengan cara mereka. Jadi, ketika salah satu dari mereka dihajar bullies, The Losers Club tanpa ragu langsung melancarkan agresi lempar-lemparan batu. Saat salah satu anggota mereka luka dan perlu jahitan tapi nggak punya duit, mereka dengan sigap nyolong obat dari apotek. Saat kamar mandi anggota mereka bersimbah darah, yang lain kerja bakti bantuin ngepel. Karakterisasi semacam ini, ditambah akting yang natural bagus sekali dari para pelakonnya membuat film ini berakhir meniadi film horror yang tidak saja sukses bikin tutup mata, tetapi juga mengundang simpati dan empowering. Di luar itu semua, penggemar film horor pasti hanya punya satu atau dua pertanyaan yaitu, “Filmnya serem apa enggak?” Untuk pertanyaan ini, saya bisa menjawab, “Nggak bikin sampe gak bisa tidur sih tapi lumayan lah.” Pertanyaan selanjutnya adalah “Badut/setannya serem nggak?”—wajar kalo ada yang nanya gini, soalnya promosi dan trailer filmnya dari kemaren-kemaren mengedepankan tokoh dedemit bernama Pennywise ini sebagai “maskot” film. Menurut saya, dibanding dengan cobaan-cobaan duniawi lain yang didera The Losers Club sepanjang film, Pennywise tidak hanya kalah seram, tapi bahkan tampak terlalu cartoony sampai-sampai mengganggu kesan dan rasa realistis yang sudah dibangun di awal-awal film. After all, pemandangan setan badut dengan mulut penuh gigi runcing tidak akan bisa menyaingi ngerinya pisau tajam yang digoreskan seorang anak kecil ke perut anak lainnya. Adegan badut keluar dari ice box dengan badan terlipat-lipat tidak bisa bersaing dengan mirisnya adegan seorang anak dihajar gerombolan anak lain, tepat saat sebuah mobil (yang dikendarai orang dewasa) lewat begitu saja dengan cueknya. Ini sebenarnya poin menarik yang menurut saya menjadi cara pandang atau statement dari film ini. Dengan berkali-kali menunjukkan orang dewasa di sekeliling The Losers Club menyuntikkan teror mental terhadap anak-anak termasuk membiarkan jeritan frustrasi anak-anak yang sebenarnya butuh pertolongan, film ini berpesan—bukan “adults are the real monsters”—melainkan “being indifferent to matters that need your attention, is also an act of evil.”


Saya menyukai film ini. Sebagai hasil adaptasi novel Stephen King, walau memang tidak se-brilian The Shining (film horor mana lagi sih yang bisa kayak gini, coba gue mau denger), tetap sebuah tontonan yang engaging, dan seru sampai adegan akhir. Saya lebih gembira lagi waktu tau bahwa film ini sebenarnya baru “Part One” nya saja. Konon, sekuelnya (Part Two), akan mengisahkan The Losers Club saat mereka sudah paruh baya. Wajar saja kalo filmnya dibagi jadi dua bagian. Selain karena sedang tren dan jadi sumber pengisi pundi-pundi uang buat para pembuatnya, pembelahan film ini menjadi dua bagian juga dikarenakan novel aslinya yang panjang dan tebal sampe 1000 halaman lebih. Saya yang sedang berusaha mbaca novelnya aja sampe sekarang belon kelar-kelar. Anyway, I’ll be looking forward to watching the second one. And I have a feeling that a lot of horror afficionados will be patiently waiting as well. Somewhere, Pennywise the Dancing Clown is grinning from ear to ear watching hordes of fools pumping their money out at the movie theatre. When the movie is this good, we don’t mind being the fools.


bottom of page