top of page

RUMAH DARA/MACABRE


Promosi itu macam bedak dempul pada muka. Ato kacamata item pada artis Hop Hop (itu mah minuman ya). Fungsinya: selain nutupin kekurangan buat yang minder, bisa juga bikin tambah keren. Ini jelas berguna sekali jika diaplikasikan pada film. Jika diibaratkan acara nikahan, promosi itu bagaikan kerudung penganten dan film sendiri adalah pengantennya. Sebelum kerudungnya dibuka dan ditonton oleh orang banyak, sebuah film tampak misterius dan bikin penasaran. Lama sebelum akhirnya saya nonton Rumah Dara, saya merasakan hal yang sama. Film ini tampak misterius dan bikin penasaran. Bagaimana wujudnya setelah kerudungnya dibuka?


Hold your horses (tahan Kuda Lumping Anda). Pertama-tama saya ingin cerita betapa saya menunggu-nunggu film ini dari tahun lalu. Dengan setia saya ikutin perkembangan film ini di-blog yang dibikin duo sutradaranya, the Mo Brothers (comprises Timo dan Kimo. Untung gak ditambah Komo. Ntar namanya jadi the MOO Brothers-Persodaraan Embek. Renyah. I know). Saya sempat ikutan prihatin waktu mereka mengeluh kurang dana. Saya pun ikutan gembira waktu mereka akhirnya mulai syuting. Baik bener ya gua. Padahal sodara aja bukan.


Itu tak lain tak bukan karena saya sangat impressed dengan karya Timo dan Kimo sebelumnya. Saya nonton film Bunian (yang saya tahu salah satu dari mereka ikut membuat film ini) tentang setan-setan Indonesia yang hijrah ke apartemen-apartemen di Sidney (Bunian artinya setan, di daerah Sumatera Barat). Film itu low budget. Amateurish. Tapi serem. Tapi tolong catat bahwa saya nonton film itu dengan berbagai pemakluman. Di kepala saya, saya mengingatkan diri saya: “Maklum atuh kalo cupu. Namanya juga film pelajar.” “Maklum lah kalo aktingnya sub standar. Namanya juga film coba-coba.” “Maklum lah kalo audio nya mati mendem. Bujetnya juga kecil.” Tapi yang membuat film ini stand out di benak saya adalah, sama dengan Jelangkung nya Rizal Mantovani dan Jose Purnomo, film ini kerasa semangat filmmaker nya. Lama kemudian saya menemukan bahwa the Mo Brothers membuat sebuah film pendek yang cukup bikin heboh di luar negeri. Judulnya Dara, tentang gadis ayu pemilik restoran yang ternyata nyambi kerja sebagai penjagal pria . Anyway, setelah saya tonton film Dara di Antologi Takut: Faces of Fear, saya bisa simpulkan: Sudah bukan satnya lagi the Mo Brothers dikenakan “Ilmu Pemakluman” oleh penonton. Dua orang itu udah “jadi”. They’re ready for their professional feature film. Big time. (BTW, Dara itu tegang, lucu—in a satire way, dan mengerikan. In other word: Hebat.).


Atas dasar di ataslah saya menjadi begitu menggebu-gebu terhadap film Rumah Dara, yang disebut sebagai pengembangan lebih lanjut dari Dara. Saya punya firasat sutradaranya akan melakukan hal yang mengasyikan dengan film ini. Saya berpikir bahwa dua anak muda ini mengerti betul ketukan-ketukan film horror: harus tegang, mengasyikan—bukan bikin stress, dan bisa membuat kita nggak sadar dengan bolong-bolong ceritanya saking involved-nya kita selama masa putar film. Apakah nyatanya Rumah Dara seperti itu?

Tunggu sekedap. Baca dulu plot Rumah Dara: Sekelompok anak muda yang sedang dalam perjalanan dihadang oleh wanita cantik yang akhirnya membawa sekelompok anak muda ini ke dalam sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga sakit jiwa, yang tampaknya sangat menjiwai lagu Maneater-nya Nelly Furtado secara denotasi, tersurat dan literally.


Kalo dilihat rangkumannya, film Rumah Dara memang mirip dengan Texas Chainsaw Massacre. Tapi saya tidak masalah. Semua plot film horror juga kebanyakan copy paste dari sesamanya. Tinggal gimana cara masaknya yang bener supaya jadi hidangan yang enak disantap. Dan dari apa yang saya lihat, hidangan Rumah Dara yang tadinya mengebul-ngebul panas, ternyata cepet dinginnya. Bikin kita yang awal-awalnya kelojotan, berubah jadi numb in a matter of minutes. Ada beberapa gangguan yang mengganggu (is there any other kind?) di film ini. The most glaring of them all, menurut pendapat saya adalah, Mbak Shareefa Daanish (maaf kalo salah ketik), si pemeran ibu Dara yang suaranya tiba-tiba mirip Shinchan kalo sedang nonton artis porno (“Hoooo” Gitu bunyinya). Saya tahu bahwa Daanish di sini dituntut untuk memerankan ibu awet muda yang ternyata usianya sudah melebihi parasnya, berkat sebuah diet spesial (mungkin Ibu Dara ini satu program diet dengan Hannibal Lecter). Tapi terlihat sekali bahwa suara Daanish di sini diberat-beratin. Pada awal-awal film, saat sosok Dara baru diperkenalkan, dan kalimat yang diutarakannya masih sedikit, tokoh Ibu Dara ini terlihat mengerikan dan otherworldly. Tapi begitu dia mulai banyak ngomong, efek mengerikannya hilang. Jatohnya malah jadi lucu. Tes sedikit yok. Baca kalimat berikut dengan suara paling berat yang anda bisa buat, DAN dengan tempo selambat mungkin: “Apakah. Kamu. Merasakannya. Astriiiiiiiid? Enak kaaaaaan? Goyang maaang” (yang terakhir ini bercanda). Tapi begitulah kira-kira. Tokoh yang seharusnya paling ditakuti di layar bioskop (Ibu Dara ini adalah pemimpin keluarga kanibal yang mencakup anak-anaknya yang arif dan budiman: Arifin Putra, Imelda Therine dan Ruli Lubis), berubah jadi tokoh yang menggelikan. Jangan salah, Daanish berhasil mentransformasi dirinya menjadi sebuah entitas yang lain. Dia tidak tampak seperti manusia. Tapi sayangnya, tidak tampak mengerikan juga bagi saya. (saya gak bisa menahan bengong waktu ada adegan Ibu Dara dicekik oleh laki-laki berbadan besar (Ario Bayu), lalu dengan sekali sentak, giliran Ibu Dara yang mencekik laki-laki itu. Laki-laki itu megap-megap sampe pingsan. Ternyata walaupun umurnya sudah tiga digit lebih, tulang dan otot-otot Ibu Dara masih kuat. Mungkin selain rutin makan sayur sop daging orok, Ibu Dara juga rajin mengkonsumsi Anlene).


Ada juga masalah ketukan/pacing di film ini. Sebuah film horror yang harusnya berjalan makin cepat dan relentless dari tengah ke akhir, malah sempet melempem di tengah-tengah. Kebanyakan tokoh, yang bukannya go nuts (ayo kacang) and run for their lives, malah sibuk mengendap-endap di dalam rumah. Detak jantung kita yang tadinya udah cepet dan kenceng, tiba-tiba mesti jadi pelan lagi gara-gara nungguin filmnya yang ketinggalan bermeter-meter di belakang. Bukankah seharusnya tokoh-tokoh yang pengen selamat itu LARI begitu bebas dari cengkeraman? Lari sekenceng-kencengny a? Tentu filmnya akan menjadi jauh lebih tegang, chaotic dan unpredictable. Tentunya penonton juga ikut “berlari” dengan si tokoh. Panik. Takut. This does not happen until the climatic sequence. Saya harus akui, saya suka sekali klimaksnya dimana Julie Estelle (salah satu jagoan kita di film ini) adu sarap dengan Daanish. Di sini filmnya baru relentless. Gesit. Cepat. Bikin deg-degan. Tapi terlambat, karena hidangannya sudah dingin duluan di tengah-tengah.


Kesimpulannya adalah, setelah nonton film Rumah Dara ini, saya tidak bisa lagi pake ilmu “Tidak Maklum” kepada the Mo Brothers. Saya masih harus pake Ilmu Pemakluman. So here goes: “UNTUK UKURAN FILM INDONESIA (yaaah…maklum lagi deh) film ini adalah film horror kedua terbaik setelah Jelangkung (betul Jelangkung itu amatiran, tapi saya tidak pernah bosan. Dan saya tidak pernah tertawa. Saya beneran TAKUT). Tapi untuk ukuran film horror… yah.. yah… let’s put it this way: pas adegan Ibu Dara berteriak ke layar penonton dan berkata: ENAK KAAAAN? Saya akan jawab: “BE-LUJM BUUUUU…” Dan habis lah saya menjadi bumbu spagetti.


On the plus side, film ini jelas sesuatu yang baru di Indonesia. Film ini tidak juga buruk. Secara teknis, film ini well made. Di beberapa titik, film ini betul-betul mengerikan dan tegang. Film ini juga sukses mendorong amplop kesadisan film horror Indonesia (push the envelope gitu maksudnya. Sok keren ye). Film ini benar-benar mandi darah. Saking mandi darahnya, saya sampai percaya Carrie yang ketumpahan darah babi di filmnya tahun 1976 itu bakal berteriak “UWANJ******NG! !!!” kalo nonton film ini.

bottom of page